BOGOR, (PRLM).- Guru Besar Ilmu Hama Tanaman Institut Pertanian Bogor (IPB) Aunu Rauf yang dikonfirmasi "PRLM", Senin (11/4) mengatakan pada umumnya, populasi ulat dari tahun ke tahun rendah karena dikekang oleh musuh alaminya. Namun, karena musuh alaminya terganggu, maka ulat akan leluasa berkembang biak sehingga populasinya meningkat dengan cepat.
Terganggunya populasi musuh alami ulat, lanjut Aunu sebagian besar dipengaruhi oleh ulah manusia, sisanya karena faktor alam. Dikatakan Aunu, penangkapan burung predator, penggunaan pestisida secara berlebihan untuk membunuh serangga parasit, serta cuaca yang kurang bersahabat (anomali dan pancaroba) diduga ikut memicu ledakan populasi ulat. "Meski secara pasti penyebabnya baru kita teliti lebih lanjut," kata Aunu.
Untuk kasus di Jawa Timur, lanjut Aunu, berdasarkan pengamatan dia memastikan ulat bulu berasal dari keluarga "Lymantriidae" dengan spesies "Arctornis submarginata", satu dari 120.000 spesies ulat di dunia. "Ulat ini hanya menyerang mangga, tetapi di literatur juga disebutkan bisa memakan kayu manis," katanya.
Dia menduga, serangan ulat bulu di Jatim khususnya di Probolinggo terjadi ketika ngengat bermigrasi dari kawasan Gunung Bromo yang erupsi beberapa waktu lalu. "Saat ngengat bermigrasi, parasit di lokasi itu belum siap sehingga kewalahan mengatasi ulat bulu," kata Aunu.
Langkah antisipasi jangka panjang, lanjut Aunu bisa dilakukan dengan mengembalikan musuh alami ulat, misalnya melakukan konservasi jenis-jenis burung pemakan serangga. Sementara, untuk daerah yang baru terjangkit seperti di Bekasi, Garut, maupun Sumedang, antisipasi ledakan ulat bulu bisa dilakukan dengan memasukkan kepompong ke tabung plastik. Bila yang keluar ngengat, bisa langsung dimusnahkan. Namun, jika yang muncul serangga lain, mirip lebah, bisa dilepas ke alam. Pembakaran ulat juga bisa dilakukan sebagai langkah pemusnahan ulat yang sampai ke halaman atau teras rumah. Karena siklus hidup ulat menjadi kupu-kupu siap bertelur sekitar enam pekan, maka warga harus mewaspadai pepohonan mangga yang belum habis terserang ulat karena berpotensi digunakan untuk meletakkan telur.
Selain itu, penggunaan pestisida biologi yang berisi bakteri Basillus pun bisa diperlukan untuk memusnahkan ulat-ulat bulu muda berukuran kecil. Bakteri dalam pestisida yang disemprotkan akan menempel di daun yang menjadi makanan ulat. Sesampainya di saluran pencernaan, bakteri mengeluarkan racun yang mematikan ulat. Cara ini lebih aman dibanding pestisida kimia yang bisa membunuh serangga lain atau jamur, virus, dan bakteri baik. Selain keberadaan serangga lain, seperti lebah dan lalat, juga dibutuhkan ekosistem setempat sebagai parasit untuk menjaga keseimbangan populasi ulat. (A-155/A-88)***
source: PR Online
Terganggunya populasi musuh alami ulat, lanjut Aunu sebagian besar dipengaruhi oleh ulah manusia, sisanya karena faktor alam. Dikatakan Aunu, penangkapan burung predator, penggunaan pestisida secara berlebihan untuk membunuh serangga parasit, serta cuaca yang kurang bersahabat (anomali dan pancaroba) diduga ikut memicu ledakan populasi ulat. "Meski secara pasti penyebabnya baru kita teliti lebih lanjut," kata Aunu.
Untuk kasus di Jawa Timur, lanjut Aunu, berdasarkan pengamatan dia memastikan ulat bulu berasal dari keluarga "Lymantriidae" dengan spesies "Arctornis submarginata", satu dari 120.000 spesies ulat di dunia. "Ulat ini hanya menyerang mangga, tetapi di literatur juga disebutkan bisa memakan kayu manis," katanya.
Dia menduga, serangan ulat bulu di Jatim khususnya di Probolinggo terjadi ketika ngengat bermigrasi dari kawasan Gunung Bromo yang erupsi beberapa waktu lalu. "Saat ngengat bermigrasi, parasit di lokasi itu belum siap sehingga kewalahan mengatasi ulat bulu," kata Aunu.
Langkah antisipasi jangka panjang, lanjut Aunu bisa dilakukan dengan mengembalikan musuh alami ulat, misalnya melakukan konservasi jenis-jenis burung pemakan serangga. Sementara, untuk daerah yang baru terjangkit seperti di Bekasi, Garut, maupun Sumedang, antisipasi ledakan ulat bulu bisa dilakukan dengan memasukkan kepompong ke tabung plastik. Bila yang keluar ngengat, bisa langsung dimusnahkan. Namun, jika yang muncul serangga lain, mirip lebah, bisa dilepas ke alam. Pembakaran ulat juga bisa dilakukan sebagai langkah pemusnahan ulat yang sampai ke halaman atau teras rumah. Karena siklus hidup ulat menjadi kupu-kupu siap bertelur sekitar enam pekan, maka warga harus mewaspadai pepohonan mangga yang belum habis terserang ulat karena berpotensi digunakan untuk meletakkan telur.
Selain itu, penggunaan pestisida biologi yang berisi bakteri Basillus pun bisa diperlukan untuk memusnahkan ulat-ulat bulu muda berukuran kecil. Bakteri dalam pestisida yang disemprotkan akan menempel di daun yang menjadi makanan ulat. Sesampainya di saluran pencernaan, bakteri mengeluarkan racun yang mematikan ulat. Cara ini lebih aman dibanding pestisida kimia yang bisa membunuh serangga lain atau jamur, virus, dan bakteri baik. Selain keberadaan serangga lain, seperti lebah dan lalat, juga dibutuhkan ekosistem setempat sebagai parasit untuk menjaga keseimbangan populasi ulat. (A-155/A-88)***
source: PR Online
No comments:
Post a Comment